Dra Sri Suciati, M.Hum
(Dosen
FPBS IKIP PGRI Semarang)
BANYAK laki-laki mengatakan, sungguh tidak
mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang berlebihan
terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa.
Ketika seorang anak laki-laki diejek,
dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin
menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak
percaya diri, gagah, dan tidak memperlihatkan kekhawatiran dan
ketidakberdayaannya.
Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak
laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya.
Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip
perempuan yang pasif, emosional, dan tidak mandiri telah menjadi citra baku
yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan keinginan
atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal
ini menjadi beban tersendiri pula bagi perempuan.
Bias Gender
Keadaan di atas menunjukkan adanya
ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki
maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang
menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran,
kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat
berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.
Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan
disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi
juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah
tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti
memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak anak-anak bahwa
pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.
Pendidikan di sekolah dengan komponen
pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan para
siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib dalam Bias Gender dalam Pendidikan
ternyata sarat dengan bias gender.
Dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan
gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut
saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot
memerlukan kecakapan dan kekuatan yang "hanya" dimiliki oleh
laki-laki.
Sementara gambar guru yang sedang mengajar di
kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh
atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak
berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Dalam rumusan kalimat pun demikian. Kalimat
seperti "Ini ibu Budi" dan bukan "ini ibu Suci", "Ayah
membaca Koran dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah
memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering ditemukan dalam
banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di
dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja
domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik bagi laki-laki.
Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap
siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika seorang
guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan "Masak
laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh cengeng". Sebaliknya ketika
melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan
"anak perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal ini memberikan
pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang boleh menangis dan hanya
laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya.
Dalam upacara bendera di sekolah selalu bisa
dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa perempuan. Siswa perempuan itu
dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian tidak hanya terjadi di tingkat
sekolah, tetapi bahkan di tingkat nasional. Paskibraka yang setiap tanggal 17
Agustus bertugas di istana negara, selalu menempatkan dua perempuan sebagai
pembawa bendera pusaka dan duplikatnya. Belum pernah terjadi dalam sejarah:
laki-laki yang membawa bendera pusaka itu.
Hal ini menanamkan pengertian kepada siswa
dan masyarakat pada umumnya bahwa tugas pelayanan seperti membawa bendera,
lebih luas lagi, membawa baki atau pemukul gong dalamupacara resmi sudah
selayaknya menjadi tugas perempuan.
Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang
apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang layak dan
tidak layak dilakukan oleh perempuan.
Bias gender yang berlangsung di rumah maupun
di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anak perempuan tetapi
juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik,
lembut, dan melayani. Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat,
dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial mereka di masa
datang.
Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang
dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak
dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika
laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan disebut banci, penakut ata bukan
laki-laki sejati.
William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan
penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif
dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar,
ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar
mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya.
Penyebabnya adalah pertama, ada proses
menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak
lemah, dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk
tidak menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat sebagai perempuan lemah dan
harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu,
namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai "anak
mami".
Tidak mengherankan jika banyak guru
mengatakan bahwa siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima
hukuman, gagal studi, dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak
laki-laki lebih banyak mempunyai persoalan hiperaktif yang mengakibatkan
kemunduran konsentrasi di kelas.
Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak
perempuan selalu ada tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa mereka
tidak memiliki pilihan untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah
dengan membunuh kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan
masyarakat dengan menjadi suatu objek yang diinginkan oleh laki-laki. Objek
yang diinginkan ini selalu berkaitan dengan tubuhnya.
Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan
yang mengikuti stereotip yang diinginkan seperti tubuh langsing, wajah putih
nan cantik, kulit halus dll. Tidak heran jika semakin banyak anak perempuan
mengusahakan penampilan sempurna bak peragawati dengan cara-cara yang justru
merusak tubuhnya.
Padahal, di sekolah, siswa perempuan umumnya
memiliki prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan dengan laki-laki.
Situasi dan kondisi memungkinkan mereka jauh lebih tekun dan banyak membaca
buku.
Keterlibatan Semua Pihak
Lalu apa yang dapat dilakukan terhadap
fenomena bias gender dalam pendidikan ini? Keterlibatan semua pihak sangat
dibutuhkan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih egaliter.
Kesetaraan gender seharusnya mulai ditanamkan
pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang saling melayani dan
menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Demikian pula
dalam hal memutuskan berbagai persoalan keluarga, tentu tidak lagi didasarkan
atas "apa kata ayah". Jadi, orang tua yang berwawasan gender
diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan
yang kuat dan percaya diri.
Memang tidak mudah bagi orang tua untuk
melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan laki-lakinya.
Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya
sesuai dengan "aturan anak perempuan" dan "aturan anak
laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu
melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki.
Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran
memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang
pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru.
Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku
ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru
akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan
gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender.
Sumber: Suara Merdeka
0 komentar:
Posting Komentar